Bagi orang dewasa, bermain mungkin saja adalah kegiatan yang tidak penting. Namun setiap anak menganggap bermain itu penting. Memang benar, anak bertumbuh, berkembang dan belajar melalui bermain. Bahkan anak usia dini ( 0 – 6 tahun ) akan lebih menyukai ajakan “mari kita bermain berhitung” dari pada ungkapan “mari kita belajar berhitung”. Papalia (1995), seorang ahli perkembangan manusia dalam bukunya Human Development, mengatakan bahwa anak berkembang dengan cara bermain. Dunia anak usia dini adalah dunia bermain. Dengan bermain anak usia dini menggunakan otot tubuhnya, menstimulasi indra-indra tubuhnya, mengeksplorasi dunia sekitarnya, menemukan seperti apa lingkungan yang ia tinggali dan menemukan seperti apa diri mereka sendiri. Dengan bermain, anak usia dini menemukan dan mempelajari hal-hal atau keahlian baru dan belajar (learn) kapan harus menggunakan keahlian tersebut, serta memuaskan apa yang menjadi kebutuhannya (need). Lewat bermain, fisik anak akan terlatih, kemampuan kognitif dan kemampuan berinteraksi dengan orang lain akan berkembang.
Nah, sudah jelaskan mengapa bermain itu penting bagi anak, apalagi bagi anak usia dini. Tidak jarang Pendidik menganggap bahwa kegiatan bermain adalah kegiatan yang kurang serius, tidak membuat anak pintar dan tidak bermanfaat. Dalam bukunya Children, Play, and Development (1999) seorang ahli perkembangan anak, Hughes mengungkapkan bahwa pada saat bermain anak mendapat kepuasan karena melakukannya (tanpa target), anak merasa senang dan menikmati, anak bebas memilih mainan yang disukai, anak mengembangkan imajinasi (ada unsur khayalan dalam kegiatannya) dan anak melakukannya secara aktif dan sadar.
Sebagian Pendidik mungkin berpikir bagaimana anak-anak bisa pintar jika hanya terus-terusan bermain? Kepandaian bukan hanya sekedar dilihat karena anak pintar membaca, menulis dan berhitung. Kemampuan akademis juga bukan satu-satunya hal yang penting dan dibutuhkan. Ada hal lain yang penting dan dibutuhkan, misalnya kemampuan berkomunikasi, memahami cara pandang orang lain dan bernegosiasi dengan orang. Hal-hal tersebut tidak bisa didapatkan hanya dengan belajar. Perasaan senang, menikmati, bebas memilih dan lepas dari segala beban karena tidak punya target, juga tidak bisa didapatkan dari kegiatan belajar.
Ketika bermain, anak berimajinasi dan mengeluarkan ide-ide yang tersimpan di dalam dirinya. Anak mengekspresikan pengetahuan yang dia miliki tentang dunia dan kemudian juga sekaligus bisa mendapatkan pengetahuan baru, dan semua dilakukan dengan cara yang menggembirakan hatinya. Tidak hanya pengetahuan tentang dunia yang ada dalam pikiran anak yang terekspresikan lewat bermain, tapi juga hal-hal yang ia rasakan, ketakutan-ketakutan dan kegembiraannya. Pendidik akan dapat semakin mengenal anak dengan mengamati ketika anak bermain. Bahkan lewat permainan (terutama bermain pura-pura/role-playing) Pendidik juga dapat menemukan kesan-kesan dan harapan anak terhadap orang-orang disekelilingnya. Bermain pura-pura menggambarkan pemahamannya tentang dunia dimana ia berada.
Kreativitas anak juga semakin berkembang lewat permainan, karena ide-ide originalah yang keluar dari pikiran anak usia dini, walaupun kadang-kadang terasa abstrak bagi Pendidik. Mengingat bahwa tidak hanya Pendidik/Orangtua yang mengalami stres, anak usia dini juga bisa. Stres pada anak dapat disebabkan oleh beban pelajaran sekolah dan rutinitas harian yang membosankan. Bermain dapat membantu anak untuk lepas dari stres kehidupan sehari-hari. Pendidikan haruslah menjadi kegiatan yang menyenangkan bagi anak usia dini dan bermain sudah pasti menyenangkan, jadi hal ini senada dengan pendapat para pengamat pendidikan yang diunggah dalam Facebook Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI bahwa “Pendidikan Harus jadi Kegembiraan” ….konsep Ki Hadjar Dewantara, bahwa proses belajar harus menyenangkan. Saatnya kita mengembalikan konsep pendidikan kita seperti yang diajarkan oleh Bapak Pendidikan kita, Ki Hadjar Dewantara. Bagi beliau, sekolah adalah taman, tempat bermain. Proses belajar itu mencerahkan, Pendidikan itu prosesnya equal, tapi merangsang pertumbuhan. Mari kita buat proses belajar itu adiktif. Layaknya candu, ada keinginan untuk belajar terus. Ke depan, yang kita butuhkan bukan spesialis, melainkan learner, pembelajar. Kita harus mendidik orang menjadi pembelajar. Kalau bisa menjadi pembelajar, di peran apa pun dia akan bisa punya makna. Untuk mewujudkan pendidikan menjadi kegembiraan tentu perlu sebuah perspektif baru. Kita bisa menengok kembali pada Ki Hadjar untuk menghadirkan perspektif ini. Adalah tanggungjawab kita bersama untuk menciptakan pendidikan yang menggembirakan, bukan sebuah beban. Yang di depan memberi teladan, di tengah memberi semangat, dan di belakang memberi dorongan. Konsep dari Ki Hadjar tersebut masih relevan sampai saat ini.
Baca Juga : 5 Ide Bisnis Digital Yang Paling Diminati
Sumber : https://kbtkmarsudirinisolo.net/